Dalam dunia bisnis atau usaha, praktik pinjam meminjam uang atau modal adalah hal yang umum terjadi. Pinjaman ini memiliki berbagai tujuan, termasuk menambah modal perusahaan, memperbaiki arus kas, atau bahkan meningkatkan kapasitas operasional perusahaan itu sendiri.
Namun, di tengah berbagai metode pendanaan yang ada, salah satu pendekatan masih menarik perhatian adalah transaksi pinjaman tanpa bunga, khususnya ketika melibatkan pihak afiliasi.
Pinjaman tanpa bunga dengan pihak afiliasi menawarkan keuntungan strategis dan fleksibilitas yang signifikan, baik dalam hal pengelolaan keuangan maupun dalam memperkuat hubungan bisnis.
Pada pembahasan kali ini kami akan membahas mengenai mekanisme dan ketentuan pinjaman tanpa bunga ini berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia.
Definisi Pinjaman
Secara sederhana, pinjaman adalah utang yang diperoleh dari pemberi pinjaman (kreditur) seperti orang pribadi, lembaga keuangan, atau entitas perusahaan kepada peminjam (debitur).
Jika merujuk pada aturan perbankan, pinjaman yang dilakukan kepada bank diatur secara khusus dalam Undang – Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah sebagian oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja serta peraturan pelaksanaannya (“UU Perbankan”).
Dalam Pasal 1 angka 11 UU Perbankan dijelaskan bahwa pinjaman atau kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan memberi bunga.
Berbeda dengan pinjaman kepada bank yang diatur pada UU Perbankan, pinjaman kepada pihak lain selain bank diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Pada Pasal 1239 KUHPerdata dijelaskan bahwa tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, diselesaikan dengan memberikan penggantian biaya, kerugian dan bunga, bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Oleh karenanya, transaksi pinjaman konvensional seperti dengan lembaga keuangan atau pihak lain, pada umumnya dikenakan bunga sebagai balas jasa yang akan ditanggung debitur atas pinjaman yang didapatkan. Sehingga jumlah uang yang dikembalikan oleh debitur kepada kreditur menjadi lebih besar dari jumlah pinjaman pokoknya.
Ketentuan Afiliasi atau Hubungan Istimewa dalam Pajak
Berdasarkan Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Hubungan Istimewa atau biasa disebut dengan Afiliasi dianggap ada apabila:
- Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
- Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
- terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Ketentuan Transaksi Pinjaman Tanpa Bunga
Pinjaman tanpa bunga seringkali terjadi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa atau afiliasi, seperti anak perusahaan dengan induk perusahaan atau sesama anak perusahaan.
Ketentuan mengenai pinjaman tanpa bunga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 tentang Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (“PP 94/2010”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 Tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (“PP 45/2019”).
Pada pasal 12 ayat 1 PP 94/2010 dijelaskan bahwa pinjaman tanpa bunga diperkenankan apabila:
- pinjaman tersebut berasal dari dana milik pemegang saham itu sendiri dan bukan berasal dari pihak lain;
- modal yang seharusnya disetor oleh pemegang saham pemberi pinjaman telah disetor seluruhnya;
- pemegang saham pemberi pinjaman tidak dalam keadaan merugi; dan
- perseroan terbatas penerima pinjaman sedang mengalami kesulitan keuangan untuk kelangsungan usahanya.
Keempat persyaratan pinjaman tanpa bunga tersebut harus dipenuhi secara kumulatif. Apabila keempat persyaratan pajak tersebut tidak terpenuhi secara kumulatif atau salah satu tidak terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 12 ayat 2 PP 94/2010 pinjaman tersebut menjadi terutang bunga dengan tingkat suku bunga wajar.
Yang dimaksud dengan suku bunga wajar adalah adalah tingkat suku bunga yang berlaku yang ditetapkan sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau arm’s length principle jika transaksi dilakukan di antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Bunga Pinjaman Merupakan Objek Pajak Penghasilan
Kemampuan ekonomis berupa bunga pinjaman merupakan salah satu objek Pajak Penghasilan. Sebagaimana diatur pada pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (“Undang-Undang Pajak Penghasilan”) dijelaskan bahwa yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
Bunga pinjaman yang dibayarkan kepada kreditur yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri dikenakan potongan PPh Pasal 23 dengan tarif 15%, sedangkan bunga pinjaman yang dibayarkan kepada kreditur Wajib Pajak luar negeri dikenakan potongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20%.
Contoh Kasus
PT ABC mengalami kerugian yang cukup besar akibat dampak pandemi COVID-19 sehingga membutuhkan dana untuk keberlangsungan perusahaan. Pinjaman kemudian dilakukan PT ABC kepada salah satu pemegang sahamnya yaitu PT XYZ sebesar Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). PT XYZ merupakan pemegang saham sebesar 70% di PT ABC dan seluruh modal PT XYZ telah disetor penuh.
Berdasarkan laporan keuangan PT XYZ sedang tidak dalam kondisi rugi dan dana yang dipinjamkan itu bersumber dari PT XYZ itu sendiri.
Dengan demikian, pinjaman yang dilakukan oleh PT ABC kepada PT XYZ dapat dilakukan tanpa bunga karena telah memenuhi seluruh ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) PP 94/2010.
Baca juga: Tanggung Jawab Pelaku Usaha Jasa Keuangan dalam Proses Penagihan Kredit oleh Debt Collector
CSI Consultant, sebuah perusahaan konsultan dan firma hukum terintegrasi di Jakarta, membantu pelaku usaha dalam mengatur dan melaksanakan usaha dan investasi, termasuk dalam pengurusan ketenagakerjaan, hubungan industrial, pajak, transaksi bisnis, penyelesaian sengketa baik secara litigasi maupun non-litigasi, dan kepatuhan. Jika Anda memiliki pertanyaan, jangan ragu untuk menghubungi kami.
Publikasi ini hanya untuk tujuan informasi dan bukan merupakan nasihat hukum. Kami tidak bertanggungjawab dalam bentuk apapun kepada setiap pihak yang membaca dan/atau menggunakan materi apapun yang terkandung dalam publikasi ini. Semua publikasi CSI Consultant memiliki hak cipta dan tidak boleh direproduksi tanpa persetujuan tertulis dari CSI Consultant.
Untuk informasi lebih lanjut silahkan hubungi:
(62)21 3192 3933
Official Pages of CSI Consultant:
LinkedIn
Twitter
CSI Law Firm
Facebook Page
Instagram Page
Your Comment
Leave a Reply Now